Halaman

Perkembangan harga hari ini

Minggu, 08 Maret 2020

Visi Energi Para Wali

Kita tahu para Wali berdakwah di Tanah Jawa dengan sangat efektif, salah satunya karena mereka mampu mendekati permasalahan-permasalahan yang dihadapi ummatnya dan memberikan solusi-solusi yang tepat sasaran sesuai dengan zamannya. Bahkan solusi-solusi ini mudah diungkapkan dengan satu kalimat yang sederhana sehingga bisa dipahami pula oleh objek dakwahnya sesuai dengan tingkat kecerdasan yang mereka miliki.





Salah satu contoh misalnya, apa yang terungkap dalam 'wong kang udo klambe nono, wong kang luwe panganono, wong kang kudanan payungono' yang artinya 'yang telanjang berilah dia pakaian, yang lapar berilah dia makan, dan yang kehujanan berilah dia payung (rumah)'. Ungkapan ini yang berabad-abad kemudian diterjemahkan oleh Presiden kedua RI yang kemudian menjadi programnya yang sangat terkenal meliputi 3 hal yaitu, sandang, pangan, dan papan.

Indonesia mengalami transformasi menjadi negara yang lebih maju ketika mulai meng-adress secara efektif 3 kebutuhan dasar tersebut diatas yaitu, sandang, pangan, dan papan. Namun visi para Wali sebenarnya tidak terbatas pada sandang, pangan, dan papan ini, para Wali pun bahkan 6 abad lalu sudah memvisikan bagaimana kebutuhan energi akan dipenuhi.

Adalah Sunan Amir Hasan putra dari Sunan Muria dan sekaligus juga keponakan dari Sunan Kudus yang sangat jelas meninggalkan jejak dasar-dasar pemenuhan kebutuhan energi ini tidak hanya di Tanah Jawa, tetapi juga sampai ke pulau seberang yaitu di Pulau Karimun Jawa.

Bayangkan 6 abad lampau saat itu jelas masyarakat kita belum mengenal bahan bakar fosil seperti yang kita gunakan sekarang, saat itu masyarakat masih menggunakan kayu bakar untuk segala kebutuhan energinya, baik untuk masak maupun untuk kebutuhan penerangan.

Melihat hal ini, ketika Sunan Amir Hasan mendapatkan tugas dari Pamannya Sunan Kudus untuk berdakwah di Karimun Jawa. Dia tidak berbekal kayu bakar atau bahan kebutuhan lainnya, dia berbekal biji nyamplung yang sekarang dikenal dunia sebagai tamanu (Calophyllum inophyllum)

Dengan biji nyamplung yang dibawanya ke pulau kecil Karimun Jawa, hingga sekian abad kemudian bekal ini menjadi amat sangat berguna. Bukan hanya tanaman nyamplung bisa membentengi pulau kecil ini dari gerusan ombak (abrasi air laut), tetapi buah biji nyamplung bisa menjadi sangat efektif sebagai bahan bakar atau energi yang dibutuhkan masyarakat setempat sejak 6 abad silam.

Biji nyamplung yang digunakan sebagai bahan bakar untuk masak misalnya dia tidak perlu dikupas, cukup dibakar langsung dan dia bisa bertahan lama karena bijinya mengandung konsentrasi minyak yang tinggi. Apabila dia diperas menjadi minyak, dia bisa menjadi obat untuk mengatasi berbagai penyakit kulit yang bisa kita pahami sangat banyak kasusnya di zaman-zaman itu.

Lebih jauh lagi, dia juga bisa menjadi minyak untuk menyalakan obor dan lampu yang juga kemudian mulai dikenal masyarakat pada zaman itu yang kemudian terkenal dengan nama lampu teplok atau lampu ublik. Lampu-lampu teplok dan ublik ini bahkan masih ada di masyarakat yang belum terjangkau listrik hingga saaat ini.

Dengan adanya sumber energi yang diambil dari buah ini, perubahan peradaban juga terjadi. Masyarakat tidak lagi perlu menebang pohon hanya untuk diambil kayunya, masyarakat cukup 'gresek nyamplung', yaitu pagi-pagi berhamburan di bawah pohon nyamplung untuk memunguti buah nyamplung yang berjatuhan semalam yang dari buah-buah ini masyarakat sudah menemukan sumber energinya yang dalam istilah sekarang sustainable energy, energi yang berkelanjutan karena tidak perlu menebang pohonnya.

Pertanyaannya adalah bagaimana para Wali tersebut bisa melihat jauh kedepan tentang masalah-masalah seperti sandang, pangan, papan, dan bahkan energi ini ? Jawabannya adalah karena adanya petunjuk yang menjadi pegangan para Wali tersebut. Petunjuk yang sama juga kita bisa ambil darinya hingga saat ini.

Para Wali menggunakan petunjuk yang sama dengan kita sekarang yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Bahkan dengan menggunakan petunjuk yang sama, kita dengan mudah bisa memahami atau seolah-olah berkomunikasi dengan pemikiran para Wali ini. Ibarat kita kuliah di fakultas yang sama dengan dosen pembimbing yang sama, maka ilmu yang diturunkan ke kita juga kurang lebih sama.

Ketika para alunni satu fakultas dan satu bimbingan tersebut saling berdiskusi, maka mereka bisa langsung mamahami satu sama lain tanpa harus saling menceritakan detail apa pemikirannya. Demikian pula kita dengan para wali, kita mudah memahami pemikiran-pemikiran mereka meskipun kita hidup berbeda masa hingga 6 abad.  

Seandainya saya murid Sunan Kudus yang ditugaskan untuk berdakwah di Pulau Karimun Jawa seperti yang ditugaskan kepada Sunan Amir Hasan, maka yang saya lakukan kemungkinan juga akan sama, yaitu memperkenalkan konsep energi yang sesuai pada zamannya. Mengapa demikian ?

Karena petunjuk tentang energi ini amat detail diungkapkan di Al-Qur'an. Bahkan petunjuk untuk membuat lampu yang ada di Al-Qur'an itu begitu detailnya sehingga konsep lampu yang diadopsi hingga zaman modern ini pun semuanya diakui atau tidak diakui sejalan dengan petunjuk tersebut diatas.

Perhatikan misalnya detail ayat berikut yang menggambarkan spesifikasi sebuah lampu dan bahan bakarnya :

" Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu " (QS 24:35)

Sekarang kita uraikan detail dari ayat tersebut. Apa yang dimaksud dengan lubang yang tidak tembus? Di rumah-rumah orang Arab yang terbuat dari tanah, di tembok dalamnya dibuat cekungan. Cekungan inilah untuk menaruh lampu dan cekungan ini hanya nampak dari dalam rumah dan tidak tembus sehingga tidak nampak dari luar rumah .

Jadi cekungan inilah yang disebut misykat, lubang yang tidak tembus tempat menaruh lampu. Sekarang perhatikan seluruh konsep kap lampu baik yang dipakai di rumah, maupun yang dipakai di mobil anda. Bukankah semuanya mengikuti konsep misykat ini ? yaitu cekungan atau lubang yang tidak tembus yaitu untuk mengarahkan lampu .

Lantas di dalam misykat inilah ditaruh mishbah, yaitu lampunya sendiri sesuatu yang dinyalakan dan memancarkan cahaya. Ini bisa berupa minyak yang dinyalakan pada zamannya bila sekarang inilah yang digantikan dengan bohlam lampu. Lalu, mishbah tersebut diselebungi atau ditutup dengan sebuah kaca dalam bentuknya yang sedemikian rupa sehingga kaca tersebut memancarkan sinarnya seperti bintang-bintang.

Perhatikan sekarang lampu mobil anda. Zujajah atau kaca lampu mobil anda, dia bukanlah kaca yang polos begitu saja, tetapi kaca yang penuh segi dan sudut yang menambah kuatnya pancaran cahaya yang dipancarkan oleh lampu tersebut. Namun fokus kita bukan pada lampu ini, meskipun konsep lampu yang digambarkan di Al-Qur'an ini memberikan gambaran berapa detailnya petunjuk Al-Qur'an dan bertapa validnya dia untuk yang hidup di zaman ini. Tetapi kita akan fokus kepada apa yang digunakan untuk menyalakan lampu tersebut.

Digambarkan di ayat tersebut bahwa lampu ini dinyalakan dengan minyak dari sebuah pohon yang tumbuh tidak di timur maupaun di barat sesuatu, artinya pohon yang mendapatkan penyinaran matahari maksimal. Dengan penyinaran yang maksimal ini, maka kualitas minyaknya juga amat sangat baik, sehingga dia seperti sudah menyala meskipun sebelum dinyalakan.

Pohon di ayat tersebut adalah zaitun, dan para Wali pun saat itu pasti memahami bahwa pohon yang dimaksud di ayat tersebut adalah zaitun. Tetapi kembali saya mendudukan pada posisi mereka saat itu. Mencari tanaman zaitun di Nusantara hingga kini kita belum menemukan yang bisa berbuah efektif.

Lantas kalau tidak ada zaitun, apa the next best think untuk menggantikannya ? Ya kita cari tanaman-tanaman yang sudah terbukti tumbuh efektif di kepulauan Nusantara ini dan yang menghasilkan minyak terbaik dan terbanyaknya. Itulah para Wali mengambil pohon nyamplung yang kandungan minyaknya bisa lebih dari 50% dari biomassa kering buahnya.

Begitu lekatnya nyamplung ini dengan dakwah para Wali, khususnya terhadap putra Sunan Muria dan keponakan Sunan Kudus yang diberi nama Sunan Amir Aasan tersebut. Bahkan karena lekatnya nyamplung ini dengan Sunan Amir Hasan, dia juga diberi julukan Sunan Nyamplungan.

Makam beliau di Pulau Karimun Jawa pun di suatu daerah yang hingga kini disebut sebagai Dusun Nyamplungan. Dari sejarah panjang para wali memperkenalkan energi ini, amat sangat sayang apabila potensi buah yang satu ini kita abaikan begitu saja. Maka melalui gerakan komunitas green oil, salah satu sumber energi baru terbarukan yang akan terus kami gali dan sosialisasikan adalah nyamplung ini.

Kita tidak perlu re-invent the wheel sesuatu yang sudah diterawang jauh oleh para Wali. Kita tinggal meneruskannya dan menyempurnakannya sesuai dengan zaman kita saat ini. Dahulu para Wali cukup memeras minyaknya untuk bisa menyalakan lampu dan bahkan membakar bijinya saja untuk bahan bakar memasak. Teknologi sekarang memungkinkan kita mengambil minyaknya dengan cara yang paling efektif, memurnikannya, dan memprosesnya lebih lanjut menjadi bahan bakar yang sesuai untuk digunakan sebagai sumber energi bagi mesin-mesin dan peralatan modern.

Dengan demikian, kita hanyalah meneruskan apa yang dahulu sudah dimulai oleh para Wali. Mereka meneruskan apa yang sudah disampaikan oleh Nabi yang menjadi uswatun hasanah kita hingga kini. Kita tinggal memulai dari yang mereka akhiri, demikian seterusnya sehingga setiap generasi melengkapi sesuai dengan kebutuhan zamannya dari apa yang sudah dimulai oleh generasi sebelumnya.  InsyaAllah.

By: Muhaimain Iqbal

Lokasi Kantor